Tampilkan postingan dengan label Rizki Maulizar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rizki Maulizar. Tampilkan semua postingan

Senin, 08 Maret 2021

"Choose to Challenge' (Memilih untuk Melawan)

Hari Perempuan Internasional
Penulis : Riski Maulizar Mahasiswa Komunikasi Dan Penyiaran Islam IAIN Lhokseumawe

Setiap tahun, tgl 8 Maret diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional atau International Women's Day (IWD), untuk merayakan pencapaian sosial, ekonomi, budaya, dan politik perempuan.

Hari Perempuan Internasional juga dirayakan sebagai kampanye untuk mempercepat tercapainya kesetaraan gender.

Pada perayaan Hari Perempuan Internasional tahun 2021, tema yang diusung adalah 'Choose to Challenge' atau 'Memilih untuk Melawan'.

Tema ini bermakna sebagai seruan kepada semua pihak untuk menantang dan menyerukan tentang bias dan ketidaksetaraan gender, serta merayakan pencapaian perempuan. Sejarah awal mula perayaan Hari Perempuan Internasional dapat ditelusuri hingga tahun 1900-an.P

Padaawalnya, IWD adalah hari protes massa dan aksi kolektif yang diorganisir oleh dan untuk perempuan, ketika dunia sedang bergejolak dengan industrialisasi.

Pada waktu itu, dunia tengah dihadapkan dengan ledakan populasi manusia serta kebangkitan ideologi radikal. Gerakan kolektif perempuan bermula dari keresahan dan perdebatan kritis yang terjadi di antara perempuan. 

Penindasan dan ketimpangan yang mereka alami, memacu perempuan untuk lebih vokal dan aktif mengampanyekan perubahan. Pada tahun 1908, 15.000 perempuan berunjuk rasa di New York City, Amerika Serikat, menuntut jam kerja yang lebih pendek, gaji yang lebih baik, dan hak mengikuti pemilu.

Pada 1910, Konferensi Buruh Wanita Internasional jilid dua diadakan di Kopenhagen, Denmark. Dimana seorang perempuan bernama Clara Zetkin, pemimpin 'Kantor Perempuan' untuk Partai Sosial Demokrat di Jerman, mengajukan gagasan tentang Hari Perempuan Internasional.

Dia mengusulkan bahwa setiap tahun di setiap negara harus ada perayaan pada hari yang sama untuk menyuarakan tuntutan kolektif perempuan.

Konferensi yang dihadriri lebih dari 100 perempuan dari 17 negara, mewakili serikat pekerja, dan partai sosialis itu menyambut saran Zetkin dengan persetujuan bulat, dan dengan demikian Hari Perempuan Internasional disetujui.

Perayaan pertama Hari Perempuan Internasional menyusul keputusan yang disepakati di Kopenhagen, Denmark pada tahun 1910, diselenggarakan di Austria, Denmark, Jerman, dan Swiss, pada 19 Maret 1911.

Lebih dari satu juta perempuan dan laki-laki menghadiri demonstrasi perdana IWD yang mengampanyekan hak perempuan untuk bekerja, mengikuti pemilu, mendapat pelatihan, memegang jabatan publik dan mengakhiri diskriminasi.

Akan tetapi, pada 25 Maret 1911, 'Kebakaran Segitiga' yang tragis di New York City merenggut nyawa lebih dari 140 wanita pekerja, kebanyakan dari mereka adalah imigran Italia dan Yahudi.

Insiden memilukan tersebut menarik perhatian yang signifikan terhadap kondisi kerja dan undang-undang ketenagakerjaan di Amerika Serikat, yang kemudian menjadi fokus acara Hari Perempuan Internasional pada tahun berikutnya.

Hari Perempuan Internasional sekarang: Di masa sekarang, gagasan dan konsep tentang kesetaraan gender kini bukan hal yang tabu lagi untuk dibicarakan. 

Kini, perempuan memiliki kesempatan untuk berada di pemerintahan, kesetaraan yang lebih besar dalam hak-hak legislatif, dan apresiasi terhadap pencapaian mereka di berbagai bidang. Perempuan kini bisa menjadi astronot, perdana menteri, memperoleh pendidikan tinggi, bebas untuk bekerja dan memiliki keluarga, serta memiliki kebebasan untuk memilih tujuan hidupnya.

Akan tetapi, masih terdapat sejumlah benang kusut permasalahan perempuan yang belum terpecahkan, seperti masih adanya ketidaksetaraan upah antara perempuan dan laki-laki, juga kasus-kasus kekerasan domestik dan kekerasan seksual yang banyak dialami perempuan.

Sejumlah benang kusut ini yang masih terus menjadi agenda perjuangan gerakan perempuan internasional untuk diurai satu persatu. Untuk Indonesia, salah satu fokus utama perjuangan saat ini adalah mendukung segera disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi UU.

Pasti gerakan perempuan tidak bisa berjalan sendiri. Butuh kerja bahu-membahu dengan para pengambil kebijakan dan kelompok2 masyarakat di semua negara, termasuk Indonesia.